Kau dan aku duduk bersama di bawah sinar kemerahan
senja. Tak ada yang bicara. Di tengah kesunyian kita, hanya terdengar debur
ombak menggerus karang. Aku tak peduli pada dunia, seperti kau tak peduli pada
kehadiranku.
Masih tercium bau anyir dari tanganmu. Meski sudah
berkali-kali kau basuh, tapi hanya noda merah itu yang hilang tertelan lautan. Kau
sudah berusaha melenyapkannya. Aku pun sudah berusaha membantumu. Tapi, kita
tak berdaya. Anyir itu telah menjadi bagian diri kita.
Kau tatap semburat terakhir senja. Berdecak. Sudah
lama kau campakkan rasa bersalah. Tapi, rasa bersalah itu masih tersisa dalam
diriku. Saat Sang Mentari menenggelamkan diri di ufuk sana, kau berdiri. Kau raih
pisau bersimbah darah yang tergeletak di atas pasir hitam. Sudah kucoba
menjauhkanmu dari benda itu. Tapi... Kenapa
kau tetap mengambilnya? tanyaku.
Kau menyeringai. Hanya seringaian yang kau berikan
sebagai jawaban pertanyaanku. Kau melangkah pergi. Yang bisa kulakukan hanya
mengikutimu. Tak ada pilihan lain. Tubuh kita kaulah pengendalinya. Aku sudah
tak berhak. Kesempatanku sebagai pengendali sudah sirna sejak kau tusuk lapisan
daging manusia hingga menembus organnya. Kini, aku hanya puing-puing hatimu.
Puing yang makin hancur seiring bertambahnya darah di pisau yang kau genggam.
Yogyakarta, 22 April 2014
Adhiati AP