HALO TEMAN!!!!

Saat seseorang merasa nasibnya malang maka saat itulah awal kejatuhannya. KEEP FIGHT!

Sabtu, 04 Juli 2015

(Resensi) Lockwood & Co. #1: Undakan Menjerit


Pengarang : Jonathan Stroud
Katagori   : Fiksi, remaja, horor, komedi, petualangan
Harga       : Rp. 70.000,-
Terbit        : Januari 2014
Tebal        : 424 halaman
Penerbit    : Gramedia Pustaka Utama
Inggris diserang wabah hantu sejak 50 tahun belakangan. Agensi-agensi hantu bermunculan. Agensi Lockwood & Co. adalah agensi hantu terkecil di London. Hanya ada 3 agen yang tergabung dalam Lockwood & Co.: Lucy, Lockwood, dan George. Dalam kasus pertama yang ditangani Lockwood & Co. setelah Lucy bergabung, proses pembasmian hantu berjalan kacau. Mereka membakar rumah bahkan Lockwood nyaris tewas terkena sentuhan hantu Annabel Ward—Annie.
Lockwood & Co. mengalami kesulitan keuangan karena banyaknya penggilan yang dibatalkan karena berita kasus mereka kemarin dimuat di koran. Belum lagi, mereka diharusnya membayar ganti rugi. Kemudian, muncullah Fairfax, pengusaha kaya yang menawarkan bayaran besar untuk membersihkan rumah kuno yang terkenal angker.
Tawaran Fairfax adalah jebakan. Dia tidak ingin membasmi hantu di rumah kunonya. Dia hanya ingin membunuh Lockwood dan kawan-kawannya karena sebenarnya Fairfaxlah pembunuh Annie puluhan tahun yang lalu. Di akhir cerita, diketahui bahwa Lucy tidak hanya bisa mendengar hantu tapi bisa berkomunikasi dengan hantu juga. Itu adalah kunci penting dalam seri berikutnya, Tengkorak Berbisik.
Alur cerita Undakan Menjerit memang tidak diceritakan sedetail Lord of the Ring karya J.R.R. Tolkien, tapi mampu membuat bulu kuduk pembaca berdiri. Akan tetapi, unsur humor tidak lupa diselipkan Stroud dalam novelnya ini. Walaupun tidak bisa dikatakan tingkat humor Lockwood, Lucy, dan George setara dengan tingkat humor Bartimaeus dalam Trilogi Bartimaeus, paling tidak Undakan Menjerit mampu mengobati kerinduan pembaca setia karya-karya Stroud dengan ‘humor tak tepat waktu’ yang mampu memutarbalikkan keadaan mencekam menjadi kekonyolan yang mengocak perut.
Sebelumnya, nama Jonathan Stroud telah dikenal berkat Trilogi Bartimaeus dan prequelnya, Cincin Solomon. Hingga kini, sudah terbit dua seri Lockwood & Co.: Undakan Menjerit dan Tengkorak Berbisik. Buku ketiga dikabarkan rilis tahun ini. Berbeda dengan Mary Shelley yang gagal mengulang kesuksesan Frankenstein atau Bram Stoker yang hanya terkenal sebagai penulis Dracula, Jonathan Stroud mampu mengulang sukses Trilogi Bartimaeus lewat Lockwood & Co..

Jumat, 19 Juni 2015

Hujan dan Si Kucing Tua

Hujan turun deras meski sinar yang dibagi mentari belum sepenuhnya padam. Angin bertiup kencang menggoyangkan dahan-dahan. Dalam waktu sngkat sinar mentari mengalah, memberikan tempatnya pada kegelapan. Angin terkadang memelankan lajunya, biarpun tak jarang menerjang pepohonan.
Hujan turun kian deras, seakan sudah ada sejak lama. Tanah yang tadinya kering kerontang kini terlapisi air hujan yang mengalir mencari jati diri. Suara guntur mulai terdengar, mungkin mewakili kekhawatiran.
Hujan, angin, kilat, dan guntur, kolaborasi alam nan sempurna. Aku kagum dalam suasana yang mencekam ini. Tetesan air mungkin berkurang, serbuan angn mungkin berhenti, tapi suara sang guntur tetap menggelegar.
Air mulai jarang menetes biarpun angin tetap berhembus. Tapi, suara guntur yang terdengar dan langit yang tak kunjung terang seakan memastikan keadaan mencekam ini tak akan cepat selesai.
Ternyata tak hanya aku yang menyadari keadaan alam ini. Kucing kampung tua yang kotor tak lagi meneruskan upayanya mengejar kucing ruah betina milikku. Tak henti-hentinya ia menatap langit yang gelap. Ah tidak. Kurasa hujan tak mengagumkan baginya. Lewat tatapan yang tetap terpada pada tirai hujan, aku tahu ia memendam ketidaksukaan. Ia membenci hujan, mungkin, karena hujan membelainya dengan tangan dingin.
Perlahan kucing tua itu bergerak hendak pergi dari keteduhan teras karena hujan mulai berhenti turun, tapi sebelum ia sempat melangkah, tetesan hujan seakan ingin mengejeknya dengan terjun bebas dari langit yang mendung dengan kecepatan penuh.
Kucing itu kembali duduk, membuat dirinya sekicil mungkin untuk menghangatkan diri, ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas seakan ingin menertawakan kekejaman hujan padanya.
Angin berhenti bertiup, tapi hujan dan guntur tetap beraksi.
Si kucing tua sudah tak mau lagi peduli. Dengan bantuan bantalan yang menyembunyikan kuku-kuku kejamnya, dia berias diri. Ya, mungkin kebenciannya pada hujan tidak akan berhenti di sini, tapi selesai untuk kali ini. Mungkin seharusnya aku juga begitu, berhenti mengagumi untuk saat ini dan memulainya lain kali.

Walang, 12 Januari 2012

Sabtu, 07 Februari 2015

Kala Kita Duduk Bersama



Kau dan aku duduk bersama di bawah sinar kemerahan senja. Tak ada yang bicara. Di tengah kesunyian kita, hanya terdengar debur ombak menggerus karang. Aku tak peduli pada dunia, seperti kau tak peduli pada kehadiranku.
Masih tercium bau anyir dari tanganmu. Meski sudah berkali-kali kau basuh, tapi hanya noda merah itu yang hilang tertelan lautan. Kau sudah berusaha melenyapkannya. Aku pun sudah berusaha membantumu. Tapi, kita tak berdaya. Anyir itu telah menjadi bagian diri kita.
Kau tatap semburat terakhir senja. Berdecak. Sudah lama kau campakkan rasa bersalah. Tapi, rasa bersalah itu masih tersisa dalam diriku. Saat Sang Mentari menenggelamkan diri di ufuk sana, kau berdiri. Kau raih pisau bersimbah darah yang tergeletak di atas pasir hitam. Sudah kucoba menjauhkanmu dari benda itu. Tapi... Kenapa kau tetap mengambilnya?  tanyaku.
Kau menyeringai. Hanya seringaian yang kau berikan sebagai jawaban pertanyaanku. Kau melangkah pergi. Yang bisa kulakukan hanya mengikutimu. Tak ada pilihan lain. Tubuh kita kaulah pengendalinya. Aku sudah tak berhak. Kesempatanku sebagai pengendali sudah sirna sejak kau tusuk lapisan daging manusia hingga menembus organnya. Kini, aku hanya puing-puing hatimu. Puing yang makin hancur seiring bertambahnya darah di pisau yang kau genggam.

Yogyakarta, 22 April 2014
Adhiati AP